Sunday, 16 March 2014

Otonomi Khusus Sebagai “Creative Destruction”

Oleh : Petrus K. Farneubun

Otonomi khusus (Otsus) telah berusia 13 tahun. Selama periode ini, pro dan kontra terus mewarnai perjalanan UU Otonomi Khusus. Kelompok pro otsus berargumen bahwa otonomi khusus merupakan solusi terbaik untuk mengangkat harkat dan martabat orang Papua.


Sebaliknya, kelompok yang kontra, mengklaim bahwa otonomi khusus tidak memberikan dampak yang besar. Malahan otonomi khusus dipakai negara dan korporasi besar untuk menancapkan imperialisme model baru. Tulisan ini lebih memandang bahwa otonomi khusus sebagai produk ‘penghancuran’ atau lebih tepat disebut ‘creative destruction.’

Istilah atau terminologi“creative destruction” atau penghancuran yang kreatif cukup popular. Bagi kelompok Marxist, istilah ini menjadi senjata khusus menyerang kapitalisme yang dinilai gagal. Istilah ini pertama kali di perkenalkan oleh Josep Schumpeter, seorang ahli ekonomi, yang menekankan suatu proses lama atau tatatan lama dihancurkan dan digantikan dengan yang baru.

Marx dan Schumpeter menilai bahwa kapitalisme telah mengancurkan sistem lama yaitu sistem feodal, komunal, dan sistem tradisional lainnya dan menggantikannya dengan satu sistem baru yang menekankan kompetisi nilai dan akumulasi keuntungan. Schumpeter menyebut proses ini sebagai perrenial gale of creative destruction (badai penghancuran kreatif terus menerus).

Persoalannya di sini adalah bukan semua produk baru selalu menghancurkan tapi produk baru bernama kapitalisme dinilai menghancurkan dan menciptakan ketergantungan. Hal inilah yang melahirkan teori ketergantungan yang dikembangkan oleh Raul Prebich akhir tahun 1950an dan populer terutama di Amerika Latin karena menilai kemiskinan di negara tersebut terjadi karena adanya ketergantungan masyarakatnya terhadap dunia barat.

Kelompok negara miskin menyediakan sumber-sumber alam primer (exported primary commodities) , dan kelompok negara kaya mengolah dan menjual kembali ke negara miskin dengan harga lebih (value added).

Bila kapitalisme dianggap sebagai “creative destruction”, apakah Otonomi khusus juga dapat dipandang demikian. Pertanyaan ini bisa dijawab dengan menggunakan theory alienasi Marx. Dalam teorinya, Marx berargumen bahwa kelas pekerja teralienasi oleh kelas pemilik modal.

Bagi Marx, para pekerja teralieneasi dari kerjanya dan hasil kerjanya. Konkritnya, kelas pekerja adalah mereka yang memproduksi suatu komoditas, menghabiskan tenaganya untuk tugas produksi, namun nilai kerja mereka ditentukan oleh pemilik modal dalam bentuk upah kerja.

Dalam konteks tersebut, otonomi khusus di Papua merupakan suatu “penghancuran kreatif” yang berhasil  meng “alienasi’ orang asli Papua. Disebut kreatif karena pertama, bisa menciptakan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada dan diciptakan dalam dalam suatu sistem pemerintahan yang sah dan aturan yang sah.

Artinya, mereka yang merancang UU Otonomi khusus sangat berpikir rasional bahwa jika Undang-Undang diciptakan dalam kaidah aturan yang sah maka kecil kemungkinan UU tersebut akan di tolak. Inilah suatu bentuk kreatifitas manusia yang mendasarkan aturan hukum dan pemerintah yang sah untuk memproduksi suatu produk hukum.

Bila kapitalisme global tetap subur dengan  adanya kreatifitas IMF, Bank Dunia dan WTO dalam menciptakan sistem pasar bebas dan meminimalizir intervensi negara, maka penciptaan kreatif otonomi khusus oleh negara, pemerintah, birokrat, dan akademisi meminimalizir keterlibatan orang Papua.

Kedua, disebut kreatif karena konsep dan konstruksi bahasa yang dipakai meyakinkan. Otonomi khusus sering diidentikan atau dibahasakan dengan mendorong perubahan sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan kearah yang lebih baik.

Istilah popular atau tiga kata kunci yang sering dipakai yaitu keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua. Saya yakin ungkapan tersebut menyenangkan setiap orang. Ungkapan ini menjanjikan suatu masa depan yang cerah. Siapa yang tidak senang dengan konsep jaminan kemakmuran seperti ini.

Sama pula dengan pendukung kapitalisme yang menegaskan bahwa sistem kapitalisme dengan konsep pasar bebas dan privatisasi, deregulasi akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan dengan demikian akan menurunkan tingkat kemiskinan.

Kemasan bahasa ini meyakinkan orang untuk menerima tawaran tersebut, namun secara perlahan-lahan mengikis fondasi sistem kolektivitas yang telah terbangun selama ini dan menciptakan suatu pola hidup yang baru dari masyarakat agraris dan mandiri ke masyarakat bermental instant atau cepat saji dan semangat ketergantungan.

Bila Marx membagi kelas pekerja dan kelompok kapitalis, maka dengan bahasa yang sama kita bisa mengatakan orang Papua sebagai kelas pekerja dan pemerintah atau kelompok pemilik modal besar lainnya seperti Freeport, BP dan laiinya.

Sebagai kelas pekerja, orang Papua hanya bisa bekerja dan memproduksi hasil kerjanya, namun hasil tersebut ditentukan oleh Jakarta dengan standar jakarta. Hasil tersebut dinilai baik bila memenuhi standard Jakarta yaitu: tidak mengancam kedaulatan NKRI dan memberikan nilai untung kepada perusahan atau korporasi besar.

Proses alienasi dalam konteks otonomi khusus lebih tepat disebut proses marginalisasi. Ini inti dari penghancuran kreatif dari suatu UU Otonomi Khusus. Sudah banyak wacana bahwa otonomi khusus menjadikan orang asli papua termarginalkan. Dalam konteks ini, saya cenderung mengartikan marginalisasi sebagai proses pelepasan masyarakat dari keterikatan mereka baik itu keterikatan material berupa tanah, hutan dan wilayah atau keterikatan non-material berupa keterasingan psikologi seperti perasaan kehilangan identitas, dibawah tekanan dan lain lain.

Otonomi khusus berhasil melakukan pekerjaan marginalisasi ini. Dalam konteks pelepasan keterikatan materi, kita bisa merujuk fenomena yang terjadi. Kita bisa bertanya berapa banyak masyarakat asli Papua yang masih mengklaim kepemilikan tanah dan hutan adat.

Di Kerom, puluhan ribu hektar tanah adat telah dijadikan kebun kelapa sawit. Di Merauke, 2 juta hektar hutan milik empat masyarakat suku Malind– Baad, Koa, Wayau and Zanegi dibabat untuk program lumbung padi nasional dan perkebunan tebu dibawah bendera Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)

Tahun 2011, saya membantu beberapa peneliti dari Lowenstein clinic, Universitas Yale Amerika Serikat ke Merauke untuk melihat sejauh mana program MIFEE tersebut sesuai dengan aturan hukum internasional. Sayangnya, laporan penelitian sampai sekarang belum diterbitkan.

Namun pointnya adalah saya pribadi mendengar kesaksian dari masyarakat bahwa mereka dijanjikan perumahan, pembangunan sekolah dan sarana kesehatan, gereja dan kebutuhan lainya  namun janji ini belum sepenuhnya ditepati.

Bagi masyarakat Papua, tanah dan hutan memiliki fungsi sentral dalam budaya masyarakat. Mama Yosepha Alomang pernah mengatakan, ”Tanah ini saya punya tubuh. Gunung Nemangkawi ini jangtungku. Danau wonangon ini saya punya sum-sum. Kali ini saya punya nafas.

Sebagian besar masyarakat Papua masih bergantung hidupnya pada pemberian alam. Pelepasan masyarakat dari keterikatan ini tidak hanya melanggar etika kelangsungan hidup, tapi juga merusak struktur fondasi keterikatan budaya yang selama ini dipegang. Ketika fondasi budaya telah terkikis, kerusakan identitas akan mengikuti.

Oleh karena itu, pelepasan keterikatan non-materi berupa perasaan kehilangan identitas semakin besar. Masyarakat Papua yang dulu bisa mandiri dan menghasilkan makanan sendiri dari kebun dan ladang, kini menunggu giliran dihantarkan uang dan beras.

Bahayanya proses peralihan ini dikondisikan dan dikemas oleh pemerintah dengan berbagai program seperti Respek, UP4B dan Prospek. Tidak tahu berapa banyak program yang akan dikembangkan lagi.

Ini yang disebut dengan “creative destruction” dimana UU dan program tersebut tampak bagus bahasanya dan konsepnya, namun perlahan-lahan merusak seperti yang dikatakan oleh Schumpeter sebagai perrenial gale of creative destruction

(Penulis adalah Dosen di Univeristas Cenderawasih)

0 komentar:

Post a Comment