Oleh Nusarina
Pesta demokrasi lima tahunan yakni pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPRD dan DPD pada 9 April 2014 tinggal hitungan hari, tetapi penyelenggara pemilu masih dibayangi kekhawatiran akan menurunnya tingkat partisipasi pemilih.
Kecenderungan penurunan partisipasi pemilih terjadi dalam tiga pemilu yakni 1999, 2004, dan 2009. Pada 1999 animo masyarakat untuk ikut pemilu sekitar 90 persen, 2004 turun menjadi 80 persen, dan 2009 turun lagi menjadi sekitar 70 persen.
Kekhawatiran bahwa akan terjadi penurunan lagi pada Pemilu 2014 diperkuat oleh hasil survei yang dilakukan Lembaga Riset dan Polling Indonesia yang mencatat jumlah golongan putih (golput) pada Pemilu 2014 diperkirakan melebihi 50 persen.
“Hanya 38,4 persen responden yang akan menggunakan hak suaranya, 23,4 persen memilih golput, 37 persen menyatakan masih ragu apakah akan memilih,” kata Koordinator Tim Telepolling Taufik Hidayat dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Hasil tersebut mencerminkan apatisme publik dalam memberikan hak suara yang dikhawatirkan membuat angka golput bisa melebihi 50 persen sehingga legitimasi hasil pemilu bisa dipermasalahkan.
Menurut dia, kepercayaan publik yang rendah terhadap parpol terjadi akibat rendahnya kualitas anggota parlemen yang diusung parpol, banyaknya anggota legislatif yang terlibat korupsi dan tidak tercapainya target legislasi akibat perekrutan kader bermasalah yang dilakukan oleh parpol.
Survei dilakukan via telepon dengan responden sebanyak 702 orang yang dipilih secara acak. Para responden merupakan pelanggan telepon kabel yang sudah mempunyai hak pilih.
Telepolling tersebut dilaksanakan pada 15 November hingga 19 Desember 2013 di 15 kota besar di Indonesia. Kelima belas kota tersebut yakni Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Makassar, Jayapura, Ambon, Mataram, Manado, Banjarmasin dan Padang.
Namun, survei dari lembaga lain memberikan harapan positif karena menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemiilih pada Pemilu 2014 akan mencapai angka yang menggembirakan.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan Internasional Foundation for Electoral System (IFES) menunjukkan 90 persen masyarakat Indonesia akan berpartisipasi dalam Pemilu 2014.
“Ini menunjukan tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi pada sistem demokrasi,” kata Direktur Pusat Peneliti IFES Rakesh Sharma beberapa waktu lalu.
Dalam survei itu LSI dan IFES memotret persepsi masyarakat terhadap pemilu 2014. Survei dilaksanakan pada Desember 2013, dengan responden 1.890 di 33 provinsi di wilayah Indonesia.
Rakesh meyakini, meskipun hasil survei ini tidak bisa dianggap sebagai hasil sesungguhnya pada pemilu nanti, namun animo masyarakat pada pemilu mendatang akan tetap tinggi.
“Saya kira tidak akan 90 persen masyarakat yang memilih, tetapi setidaknya ini cerminan tingginya animo masyarakat untuk ikut, dan kemungkinan besar lebih tinggi dibandingkan 2009, atau setidaknya tidak lebih rendah,” katanya.
Survei juga menunjukkan partisipasi pada pemilu cukup tinggi baik untuk pemilih wanita maupun pria. Sebanyak 88 persen pria survei akan memilih, sedangkan wanita 91 persen.
Direktur LSI Hendro Prasetyo mngatakan selain kepercayaan terhadap sistem demokrasi, juga ada kepercayaan bahwa pemilu dapat melakukan perubahan.
“Meskipun tidak mayoritas memang tapi ada kepercayaan mengikuti partisipasi pemilu untuk perubahan,” katanya.
Selain tingkat partisipasi pemilih, dua lembaga tersebut juga melakukan survei terhadap tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu yang juga menjadi salah satu faktor untuk menarik masyarakat pemilih menyalurkan hak suaranya.
Hasil survei itu menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen responden mempercayai penyelenggara pemilu baik Komisi Pemilihan Umum nasional, provinsi maupun kabupaten/Kota serta Badan Pengawas Pemilu.
“Hasil ini seharusnya menjadi amunisi bagi penyelenggara pemilu untuk lebih bersungguh-sungguh dalam menyelenggarakan pemilu,” kata Hendro Prasetyo.
Survei mendapati, 76 persen responden percaya dengan KPU nasional, 77 persen pada KPU provinsi, 79 persen pada KPU Kabupaten atau Kota dan 75 persen pada Bawaslu.
Selain itu, mayoritas responden (di atas 55 persen) juga merasa puas dengan kinerja KPU mulai dari pendidikan pemilu kepada masyarakat (60 persen), memastikan hasil pemilu yang akurat (61 persen), mempertahankan independensi dari tekanan politik (56 persen) hingga menyusun serta membuat daftar pemilih tetap yang akan digunakan dalam pemilu (63 persen).
Tidak bisa jadi patokan
Meskipun survei yang lebih baru itu menunjukkan hasil menggembirakan, tetapi menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik tidak bisa dijadikan patokan. Meski demikian dengan hasil survei tersebut, KPU paling tidak memperoleh gambaran tentang partisipasi masyarakat.
“Tinggal bagaimana kami meyakinkan agar ini menjadi kenyataan, ini kan masih hanya bayangan, setidaknya sama atau lebih tinggi dari target di RPJMN sebesar 75 persen,” katanya.
Untuk mencapai target tersebut penyelenggara Pemilu 2014 telah melakukan berbagai langkah seperti merekrut relawan demokarasi untuk membantu menyosialisasikan pemilu kepada masyarakat, memberikan pendidikan politik bagi kalangan pemilih pemula, terus menyempurnakan daftar pemilih tetap, serta beberapa upaya lain.
Golput memang selalu menjadi titik kekhawatiran penyelenggara pemilu, namun dengan berbagai upaya yang terus disempurnakan angka golput diharapkan dapat ditekan serendah mungkin.
Penyelenggara pemilu memang tidak dapat bekerja sendiri untuk mencapai tingkat partisipasi pemilih yang tinggi karena partai politik juga memiliki peran cukup besar. Dengan mengajukan calon anggota legislatif yang kredibel, anti-korupsi, dan mengutamakan kepentingan rakyat, masyarakat tentu akan dengan senang hati datang ke tempat pemungutan suara.
Karena itu, dengan koordinasi dan kerja sama yang baik antara penyelenggara, pengawas dan peserta, helatan Pemilu 2014 diharapkan akan mencapai sukses. Semoga.
(Sumber: ANTARA)